Minggu, 08 November 2009

UU No.20/2003 Tentang Sisdiknas

Pemberian Gelar Profesor Harus Mengacu UU Sisdiknas
Jumat, 12 Oktober 2007

Pemberian gelar profesor sebaiknya mengacu pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), bukannya mengacu pada surat keputusan (SK) menteri. Lembaga apa pun harus taat pada UU, apalagi secara yuridis, UU lebih tinggi dari pada SK menteri.

Hal itu dikemukakan anggota Komisi X DPR bidang pendidikan, Cypryanus Aoer menjawab Pembaruan di Jakarta, Sabtu (25/3) menanggapi kontroversi gelar profesor riset (Pembaruan, 24/3). Menurut anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) itu, seharusnya segala bentuk peraturan yang dikeluarkan pemerintah, apakah berupa surat edaran, surat keputusan atau pun peraturan pemerintah (PP) mengacu pada UU.

Cyprianus meminta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berpedoman pada SK Menneg PAN No 128/2004 menaati UU Sisdiknas. Sebagai negara hukum kata Cyprianus, setiap lembaga harus taat pada hukum yang lebih tinggi.

Cyprianus belum memastikan, apakah SK Menneg PAN 128/2004 yang menjadi acuan pemberian gelar profesor riset bagi peneliti tersebut melanggar UU atau tidak, namun dia mengatakan, akan membahas hal ini di Komisi X DPR. ''Mungkin setelah reses, kita akan bahas di nanti, ini masalah serius, kata wakil rakyat dari Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.

Pemberian gelar guru besar atau profesor tersebut diatur dalam Pasal 23, UU No 20/2003 tentang Sisdiknas. Pasal 23 itu berbunyi sebagai berikut: (1) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

Minta Klarifikasi

Sementara itu, Kepala LIPI, Prof Umar Anggara Jenie, meminta klarifikasi atas keberatan sejumlah kalangan terhadap pemberian jabatan profesor riset dari lembaga yang dipimpinnya. Menurutnya pemberian gelar profesor riset kepada peneliti yang dinilai memiliki kompetensi tinggi tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.

"Saya bersedia untuk menjelaskan pemberian gelar itu, karena pemberian gelar itu tidak menyalahi aturan apa-apa. Saya juga ingin tahu keberatan mereka, karena saat pemberlakuan keputusan itu kami juga mendapat dukungan dari Diknas," ujarnya kepada Pembaruan, Jumat (24/3).

Umar menyebutkan pemberian gelar profesor riset kepada sejumlah peneliti telah melalui proses yang ketat seperti yang dilakukan oleh lembaga perguruan tinggi. "Pada awalnya mereka yang dipromosikan, diseleksi oleh lembaga penelitian yang bersangkutan, kemudian diseleksi oleh Panitia Penilai Jabatan Peneliti Nasional (PPJPN). Panitia ini merupakan perwakilan dari seluruh lembaga penelitian di Indonesia, jadi standar yang diterapkan adalah standar nasional," jelasnya.

Sedangkan Rektor Universitas Diponegoro, Prof Eko Budihardjo di tempat terpisah menegaskan, pemberian gelar profesor riset merisaukan kalangan akademis. "Mereka yang sudah lama melakukan pengabdian di universitas saja sangat susah sekali untuk mendapatkan gelar itu, sementara mereka yang berada di luar dunia akademisi mudah sekali untuk mendapatkan profesor, ini kan tidak baik," ujarnya.

Eko juga menyebutkan bahwa pemberian gelar itu tidak sesuai dengan UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Menurutnya untuk menjadi seorang profesor harus menyelesaikan pendidikan strata tiga. "Saat ini masih ada ribuan peneliti yang dengan mudah akan mendapatkan gelar profesor itu tanpa harus mengajar atau menyelesaikan strata tiga," jelasnya.

Menurut Eko yang tergabung dalam Forum Rektor Indonesia (FRI) pemerintah harus menyelesaikan masalah ini. "Seharusnya Depdiknas dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) menyelesaikan masalah ini. Depdiknas mengatur tentang pemberian gelar profesor di kalangan akademisi, sedangkan Menteri PAN mengeluarkan SK tentang profesor riset itu," jelas Eko. "Kami sudah meminta Pak Bambang Sudibyo (Mendiknas) untuk bertemu guna mengklarifikasi masalah ini," tambah Eko.

Sementara Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengatakan peraturan tentang pemberian jabatan profesor yang diatur dalam undang-undang berbeda dengan pemberian jabatan profesor riset yang dilakukan LIPI. "Dari namanya saja sudah berbeda, yang satu profesor, sedangkan yang satu lagi adalah profesor riset. Ini dua hal yang berbeda dan aturannya berbeda," ujarnya.

Peraturan tentang pemberian gelar profesor atau guru besar dilakukan melalui UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, sementara peraturan mengenai profesor riset dilakukan melalui SK Menteri PAN. Menurut Satryo pemberian gelar profesor riset adalah wewenang LIPI.

"Sebenarnya tidak perlu ada pertentangan mengenai hal itu, yang paling penting kan karya dan pengabdian mereka kepada masyarakat. Hal ini tidka perlu dibesar-besarkan," ujarnya. (M-15/K-11)

Sumber : Suara Pembaruan (25 Maret 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar