Selasa, 21 September 2010

Jenis-Jenis Laher Motor

Jenis motor berbeda bisa diikuti kode part yang berbeda juga. Padahal, barangnya tetap aja sama. Seperti bearing alias bantalan bola besi yang punya ukuran sama dengan melacak kodenya.

Coba cek deh kode bearing yang beredar. Misal, bearing roda belakang bebek. Itik Honda, Yamaha, Suzuki dan Kawasaki rata-rata punya kode yang sama. “Kemungkinan besar ada special treatment atau perlakukan khusus untuk bearing yang sedikit mahal dibanding laher lain meski ukurannya sama,” bilang Priyono dari divisi OEM & Business Development PT SKF Indonesia, Jakarta.

Supaya lebih jelas, mending tengok deh urutan yang mesti dicek konsumen. Ambil contoh laher untuk roda belakang bebek, 6301. Kode punya arti yang bukan kode buntut.

Angka 6 sama dengan ball bearing alias laher yang di dalamnya ada bola besi. Angka 3 lambang besarnya lingkar bearing bagian luar. Angka ini menunjukan dimensi besarnya lingkar rumah bearing. Sedangkan angka 01, besarnya lubang sesuai as roda. “Ini kode internasional. Semua produsen laher menggunakan ini,” bilang Priyono yang berkantor di Tipar-Cakung, Jakarta Timur.

Selain itu, ada kode yang spesial dari tiap produsen bearing selain empat angka yang wajib diketahui konsumen. Misalnya, laher 6201-RS1. RS untuk SKF berarti salah satu sisi bearing ditutup rubber shield alias karet sil.

“Tiap produsen berbeda di soal kode. Gampangnya ambil patokan bawaan asli motor aja supaya enggak bingung. Kalau memang pakai sil, sebagusnya beli juga yang pakai sil. Tapi, intinya paling penting tetap empat angka paling depan,” ujar Priyono lagi.

Nah di edisi sekarang, kode bearing yang didaftar baru untuk roda depan. Laher belakang menyusul ya.

KODE BEARING RODA DEPAN

BEBEK
6301 Generasi Astrea Grand, Supra X, dan Legenda, Suzuki Satria CW 120 dan Satria F-150)
6201 Supra Fit sampai Karisma 125)
6300 Dipakai di satu sisi generasi Suzuki Tornado, Shogun 110-125, Satria 120R dan S, Smash, Generasi Yamaha F1-Z, JupiterZ Jupiter MX 135LC, Vega, Kawasaki Kaze, Blitz, dan ZX130
6200 Dipakai di satu sisi generasi Suzuki Tornado, Shogun 110- 125, Satria 120S dan 120R

SKUBEK
6201 Honda Vario
6300 Suzuki Spin, Yamaha Mio, Nouvo

MOTOR SPORT
6301-RS1 Honda GL Max, GL100, GL-Pro, GL Pro Neo Tech, Mega Pro, GL Max Neo Tech, NSR150, Tiger 2000, Honda Win, Suzuki Thunder 125
6301-2RS1 Honda Tiger C/W
6301-Z Yamaha YT115
6300-Z Suzuki A100
6300-RS1 Suzuki RGR150
6201-RS1 Suzuki TS125 (sebelah kiri)
6201-Z Suzuki TS125 (sebelah kanan)
6302-Z Suzuki Thunder 250
6202 Yamaha RX-King, RX-Z, RZ-R, Kawasaki Ninja, Ninja R C/W,
6202-Z Yamaha RX-S

Ket:
1. RS = Rubber shield (bearing ditutup sil atau karet
2. Z = Bearing ditutup pelat

BEARING RODA BELAKANG

BEBEK
6201-RS1 Honda Supra Fit, Karisma, Kirana, Supra X 125
6201 (sebelah kiri dalam) Suzuki Bravo, Shogun 110, Shogun 125, Satria R, Smash (full chain case), Tornado, Satria F-150
6201-Z (bagian kiri luar) Suzuki Bravo, Shogun 110, Shogun 125, Satria R, Smash, Tornado GS, Satria F-150, Kawasaki ZX130
6300-Z (bagian kiri luar), Tornado GX
6301-Z (bagian kanan), Suzuki Bravo, Shogun 110, Shogun 125, Satria R, Smash, Tornado GS atau GX, Satria F-150, Kawasaki ZX130
6301-RS1 Honda Supra Fit, Astrea Grand, Astrea Star, Karisma, Kirana, Legenda, Supra, Supra X, Supra X 125, Yamaha F1-Z atau ZR, Sigma, Crypton, Vega, Jupiter-Z, Jupiter MX 135 LC
6301-Z Yamaha F1-Z atau ZR, Sigma, Crypton, Vega, Jupiter-Z, Jupiter MX 135
6202-Z Generasi Kaze dan Blitz
6302-Z Generasi Kaze dan Blitz

MOTOR SPORT

6302-RS1/MT Honda GL-Max dan GL- Max Neo Tech, GL100, GL-Pro dan Pro Neo Tech, Mega Pro
6202-RS1/MT Honda GL-Max dan GL-Max Neo Tech GL-Pro dan Pro Neo Tech
6203-RS1/MT Honda NSR150 dan Tiger 2000, Yamaha RX-125,
6301-RS1/MT Honda Win, Yamaha RX-King
6201-Z/C3MT (kiri) Suzuki A100 6202-Z/C3MT (kiri) RGR150, TS1256202-RS1/C3MT (kiri) Suzuki Thunder 2506302-Z/C3MT (kiri-kanan) Thunder 1256301-Z/C3MT (kanan) Suzuki A1006302-RS1/C3MT (kanan) RGR150, TS125, Thunder 2506202-RS1/MT Yamaha Scorpio6202/MT Yamaha YT115, RX-King, RX-Z, RZ-R
6202-Z/MT Yamaha YT115, RX-Z, RZ-R
6202/C3MT Kawasaki Ninja, Ninja R/CW
6302-Z/MT Kawasaki Ninja, Ninja R/CW

Kamis, 19 Agustus 2010

Lauk Berbuka Kaya Protein

By Budi Sutomo

Setelah seharian berpuasa, tubuh memerlukan asupan nutrisi yang mudah dicerna dan kaya protein. Ikan adalah pilihan tepat, tekstur dagingnya lunak dan mudah dicerna tubuh. Saus asam manis dengan sayuran membuat lauk ini juga kaya akan vitamin, mneral serta serat sebagai zat penjaga dan pelindung kesehatan tubuh selama berpuasa.



Gurami Kuluyuk Asam Manis

Bahan:
500 g fillet ikan gurami, potong-potong
100 g tepung terigu
Minyak untuk menggoeng
1 sdt garam halus
½ sdt lada halus
1 sdm air jeruk nipis

Saus Asam Manis:
60 g wortel, potong korek api
60 g kacang polong
50 g bawang bombay, potong bentuk batang korek api
300 ml air/kaldu ayam
3 siung bawang putih, cincang
½ sdm tepung maizena, larutkan dengan sedikit air
100 ml saus tomat
½ sdm gula pasir
5 sdm air jeruk nipis/1 sdt cuka masak
2 sdm minyak goreng
½ sdt lada halus
½ sdt garam halus

Cara Membuat:
1. Bumbui potongan ikan dengan lada, garam dan air jeruk nipis. Diamkan selama 15 menit agar bumbu meresap. Gulingkan potongan daging ikan ke atas tepung terigu hingga seluruh permukaan terselimuti tepung.
2. Panaskan minyak, goreng ikan hingga matang dan berwarna kuning kecoklatan. Angkat. Tiriskan.
3. Saus Asam Manis: Panaskan minyak, tumis bawang bombay dan bawang putih hingga harum. Tuang air/kaldu ayam, saus tomat, lada, garam dan gula pasir. Masak hingga mendidih. Masukkan wortel, kacang polong larutan tepung maizena dan air jeruk nipis/cuka. Masak hingga tekstur saus kental dan semua bahan matang. Angkat.
4. Penyajian: Atur potongan ikan gurami goreng di atas piring saji. Sesaat sebelum disajikan, siram ikan dengan saus asam manis. Hidangkan.
Untuk 5 Porsi

Tips: Siram ikan dengan saus sesaat sebelum disajikan agar tekstur ikan tetap kering dan tidak lembab. Ikan gurami bisa diganti dengan jenis ikan lain seperti, kakap atau gindara.

Senin, 16 Agustus 2010

Bahaya Menahan Buang Air Kecil

VIVAnews - Apakah Anda sering menahan buang air kecil? Malas beranjak dari tempat duduk, atau toilet umum yang jorok menjadi alasan umum menahannya.

Jangan membiasakan kebiasaan menahan buang air kecil. Bukan hanya ancaman menderita batu ginjal, tapi juga meningkatkan risiko penyakit infeksi saluran kemih.

Suzanne Merrill-Nach, dokter ahli kebidanan di San Diego, memeringatkan bahaya itu. "Buang air kecil akan membersihkan kandung kemih dari bakteri yang berkembang biak di urin," katanya seperti dikutip dari laman Cosmopolitan.

Artinya, mengabaikan hasrat buang air kecil ke toilet akan menyuburkan perkembangbiakan bakteri di dalam kandung kemih. Inilah yang potensial menimbulkan infeksi saluran kemih.

Menahan buang air kecil juga tidak boleh dilakukan menjelang berhubungan seksual. "Ketika kandung kemih penuh, saluran uretra lebih terbuka sehingga memudahkan masuknya bakteri dari organ intim. Ketika bakteri masuk, terjadilah infeksi saluran kemih," ujarnya.

Menahan buang air kecil juga mengakibatkan gangguan pompa kandung kemih. Itulah usai menahannya, urin tak bisa tuntas dikeluarkan. Orang menyebutnya anyang-anyangan. Jangan sepelekan kondisi ini, karena sisa urin yang sulit keluar juga potensial memicu infeksi saluran kemih.

Urine adalah cairan sisa yang diekskresikan ginjal. Cairan berupa bahan terlarut sisa metabolisme seperti urea, garam terlarut, dan materi organik, ini akan dikeluarkan tubuh melalui proses saluran kemih. Menahannya keluar akan membuat 'sampah' terlarut itu mengendap dan mengganggu fungsi kandung kemih dan ginjal. (pet)

Jumat, 13 Agustus 2010

Melatih Daya Ingat 1

Mulailah buat diary anda sekarang. Setiap malam sebelum anda tidur sempatkanlah waktu beberapa menit untuk menuliskan apa saja yang terjadi seharian ini. Anda bisa memilih media apa saja yang paling anda sukai. Mungkin bagi anda menggunakan media buku tulis biasa akan lebih mudah daripada menulis di blog pribadi. Mungkin sebagian yang lain berfikir yang sebaliknya. Intinya jadikanlah kegiatan menulis diarymenjadi kegiatan yang menyenangkan bagi anda.

Anda tidak diminta untuk terus menerus menulis diary sepanjang hidup anda dari sekarang. Anda bahkan bisa menghentikan kegiatan ini, kapan saja anda mau. Anda bisa berhenti ketika anda mulai merasakan kejenuhan dan kebosanan. Kebiasaan menulis diary seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi anda dan bukan sebaliknya. Lakukanlah kegiatan ini untuk bersenang-senang (selain motivasi untuk meningkatkan daya ingat anda).

Siapkan media tulisnya, dan luangkanlah waktu sekitar 30 menit. Tanyakan beberapa hal berikut ini:

1. Apa saja aktifitas yang anda lakukan hari ini?
2. Dari kegiatan dan rutinitas anda seharian ini, apa ada suatu yang menarik (berbeda dari biasanya)?
3. Kejadian apa yang menarik hari ini? (jika ada, kejadian kejadian itu menarik buati anda?)
4. Apa ada hal-hal yang kurang anda sukai hari ini, apa hari ini begitu membuat anda kesal. Jika iya, alasannya kenapa?
5. Apa hari ini anda bertemu/berkenalan dengan orang baru? siapa, bagaimana orangnya? (anda ingat wajah dan penampilannya?, ingat pakaian yang dipakainya?, gaya rambutnya?-apa yang paling mengingatkan anda dari orang itu?)
6. Anda makan siang di mana hari ini? (dengan siapa saja, apa yang anda makan, apa anda masih ingat posisi/tempat duduk di mana anda makan siang?)

Berapa banyak pertanyaan yang bisa anda jawab? apakah anda menjawab dengan menyertakan gambar yang detil di kepala anda atau hanya gambaran umum? (misalnya pada waktu makan siang, apakah anda benar-benar ingat bagaimana suasana tempat makannya?, di mana anda duduk, bagaimana keadaan meja makannya, aroma di sekitar tempat makan dsb). Semakin detil gambar yang anda buat, maka semakin baik latihan anda.

Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa anda ubah sendiri sesuai versi anda. Jangan terpaku pada pertanyaan di atas. Karena pertanyaan di atas hanya sebagai contoh. Jangan juga terpaku pada urutan pertanyaan. Intinya Anda bebas untuk mengingat apa yang mau anda ingat. Karena begitu kegiatan ini membuat anda jenuh, maka tidak akan ada gunanya.

Pada awalnya mungkin anda akan terasa sedikit pusing, seakan otak anda terbebani hal yang berat. Namun alangkah baiknya kalau anda tidak begitu saja menyerah di sini. Karena hal itu adalah hal yang wajar, jika anda sebelumnya belum pernah melakukan latihan seperti ini.

Jika anda mulai menyukai kegiatan di atas, teruslah berlatih dengan pertanyaan yang lebih banyak. Teruslah tambah porsi latihan anda dengan tetap memperhatikan bagian detil dari pengalaman anda seharian itu.

Selamat berlatih….

Sumber: manemonik.com

Minggu, 03 Januari 2010

Akreditasi Sekolah/Madrasah

Akreditasi Sekolah Tiap Tahun Menurun

BANDUNG, (PRLM).- Jumlah sekolah/madrasah yang diakreditasi setiap tahun cenderung menurun seiring dengan berkurangnya dana untuk akreditasi. Akibatnya, pada 2010 kemungkinan besar sekolah yang telah habis masa berlaku sertifikasi akreditasinya, tidak akan diakreditasi ulang karena masih banyak sekolah/madrasah yang sama sekali belum terakreditasi.

”Kami hanya bisa mengajukan kuota yang akan diakreditasi. Tetapi eksekusinya, tergantung dari yang disetujui baik melalui APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) maupun APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah),” ujar Ketua Badan Akreditasi Provinsi Jawa Barat (BAP Jabar) untuk sekolah dan madrasah Djam’an Satori.

Berdasarkan data BAP Jabar, pada 2009 ini APBN mengucurkan Rp 6.729.250.000,00 sehingga bisa mengakreditasi 5.050 sekolah/madrasah (255 sekolah dari APBD Jabar). Sementara pada 2008, dengan anggaran yang lebih besar BAP Jabar mampu mengakreditasi 7.494 sekolah/madrasah (2.444 lebih banyak dari 2009).

Untuk 2010, dana yang dikucurkan melalui APBN kemungkinan besar hanya sekitar Rp 3,5 miliar karena Departemen Pendidikan Nasional fokus kepada akreditasi perguruan tinggi. Oleh karena itu, perkiraan jumlah sekolah yang akan diakreditasi adalah separuh dari jumlah yang diakreditasi pada 2009, yaitu 2.525 sekolah/madrasah.

Penurunan dana tersebut, katanya, juga menyebabkan tahun depan BAP Jabar akan memprioritaskan sekolah/madrasah yang sama sekali belum terakreditasi. Sekolah/madrasah yang belum terakreditasi adalah 59 sekolah luar biasa (SLB), 2.925 taman kanak-kanak/raudlatul atfal (TK/RA), 4.900 sekolah dasar/madrasah ibtidaiah (SD/MI), 757 sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiah (SMP/MTs.), 7 sekolah menengah atas/madrasah aliah (SMA/MA), dan 18 sekolah menengah kejuruan (SMK).

Untuk itu, lanjutnya, sekolah/madrasah yang masa berlaku sertifikasi akreditasinya telah habis (empat tahun), status akreditasinya akan tetap dinyatakan berjalan. (A-167/A-147)***

Sumber: www.pikiran-rakyat.com

Standar Penilaian Pendidikan

1. STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN (PERMENDIKNAS NO 20 TH 2007) DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 11 JUNI 2007
2. PENILAIAN
* APA STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN ?
* APA PENILAIAN PENDIDIKAN ?
* BAGAIMANA CARANYA?
* APA MANFAAT HASILNYA ?
* APA KETUNTASAN BELAJAR?
* BAGAIMANA PELAPORANNYA?
3.
* STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN:
* Standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
* Penilaian Pendidikan :
* Proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik
4.
* ULANGAN :
* Proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan, melakukan perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan belajar peserta didik.
5. PRINSIP PENILAIAN
* SAHIH
* OBJEKTIF
* ADIL
* TERPADU
* TERBUKA
* MENYELURUH DAN BERKESINAMBUNGAN
* SISTEMATIS
* BERACUAN KRETERIA
* AKUNTABEL
6. MEKANISME & PROSEDUR PENILAIAN
* Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah.
* Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu kompetensi dasar atau lebih oleh pendidik
7.
* Ulangan tengah semester : mengukur kompetensi setelah 8 – 9 minggu. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang mempresentasikan KD pada periode tersebut oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
* Ulangan akhir semester : mengukur pencapaian kompetensi di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang mempresentasikan KD pada periode tersebut oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
8.
* Ulangan kenaikan kelas : mengukur pencapaian kompetensi di akhir semester genap. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang mempresentasikan KD pada periode tersebut oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
* Ujian sekolah mengukur pencapaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan
9. Ujian Nasional
* Kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan
10. BELAJAR TUNTAS
* Belajar Tuntas ( mastery learning ): peserta didik tidak diperkenankan mengerjakan pekerjaan berikutnya, sebelum mampu menyelesaikan pekerjaan dengan prosedur yang benar, dan hasil yang baik.
* “ Jika peserta didik dikelompokkan berdasarkan tingkat kemampuannya untuk beberapa mata pelajaran dan diajarkan sesuai dengan karakteristik mereka, maka sebagian besar dari mereka akan mencapai ketuntasan”.
* ( John B. Carrol, A Model of School Learning)
11. lanjutan
* Guru harus mempertimbangkan antara waktu yang diperlukan berdasarkan karakteristik peserta didik dan waktu yang tersedia di bawah kontrol guru (John B. Carrol)
* “ Peserta didik yang belajar lambat perlu waktu lebih lama untuk materi yang sama, mereka dapat berhasil jika kompetensi awal mereka terdiagnosis secara benar dan mereka diajar dengan metode dan materi yang berurutan, mulai dari tingkat kompetensi awal mereka”
* (JH. Block, B. Bloom)
12. PENILAIAN OTENTIK
* Memandang penilaian dan pembelajaran secara terpadu
* Mencerminkan masalah dunia nyata
* bukan dunia sekolah
* Menggunakan berbagai cara dan kriteria
* Holistik (kompetensi utuh merefleksikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap,)
13. BERKESINAMBUNGAN
* Memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil terus menerus dalam bentuk Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, Ulangan Akhir Semester, dan Ulangan Kenaikan Kelas.
14. ACUAN KRITERIA/PATOKAN
* PRESTASI/KEMAMPUAN PESERTA
* DIDIK TIDAK DIBANDINGKAN
* DENGAN PRESTASI KELOMPOK,
* TETAPI DENGAN KEMAMPUAN
* YANG DIMILIKI SEBELUMNYA DAN PATOKAN YANG DITETAPKAN
15. BERBAGAI CARA & ALAT PENILAIAN
* Mengembangkan dan menyediakan sistem pencatatan yang bervariasi
* Menggunakan penilaian yang bervariasi: Tertulis, Lisan, Produk, Portofolio, Unjuk Kerja, Proyek, Pengamatan, dan Penilaian Diri
16. TEKNIK /CARA PENILAIAN
* Unjuk Kerja (Performance )
* Penugasan (Proyek / Project)
* Hasil kerja (Produk / Product)
* Tertulis (Paper & Pen)
* Portofolio (Portfolio)
* Sikap
* Diri
17.
* UNJUK KERJA (PERFORMANCE) : PENGAMATAN TERHADAP AKTIVITAS SISWA SEBAGAIMANA TERJADI (UNJUK KERJA, TINGKAH LAKU, INTERAKSI)
* PROYEK : PENILAIAN TERHADAP SUATU TUGAS PENYELIDIKAN YANG HARUS SELESAI DALAM WAKTU TERTENTU
* HASIL KERJA (PRODUK) : PENILAIAN TERHADAP KEMAMPUAN MEMBUAT PRODUK TEKNOLOGI DAN SENI
* TERTULIS: MEMILIH & MENSUPLAI JAWABAN
* PORTOFOLIO : PENILAIAN YANG SISTEMATIS MELALUI KOLEKSI KARYA (HASIL KERJA) SISWA
* SIKAP : PENILAIAN TERHADAP PERILAKU DAN KEYAKINAN SISWA TERHADAP OBYEK SIKAP
* DIRI : MENILAI DIRI SENDIRI BERKAITAN DENGAN STATUS, PROSES, TINGKAT PENCAPAIAN KOMPETENSI YANG DIPELAJARINYA
18. PEMANFAATAN HASIL
* REMEDIAL
* PENGAYAAN
* PERBAIKAN PROGRAM & KEGIATAN
19. KAPAN ?
* REMEDIAL
* BILA NILAI INDIKATOR < KRITERIA KETUNTASAN BELAJAR
* PENGAYAAN
* TUNTAS LEBIH CEPAT
* PERBAIKAN PROGRAM & KEGIATAN
* BILA TIDAK EFEKTIF
20. KETUNTASAN BELAJAR
* PER INDIKATOR
* KRITERIA: 0% – 100%
* IDEAL: 75%
* SEKOLAH MENETAPKAN SENDIRI DGN PERTIMBANGAN:
* KEMAMPUAN AKADEMIS SISWA,
* KOMPLEKSITAS INDIKATOR ,
* DAYA DUKUNG: GURU, SARANA
* TUNTAS: SKOR ≥ KRITERIA KETUNTASAN
* TUNTAS INDIKATOR -> KD -> SK-> MATPEL
21. CONTOH PENGHITUNGAN KETUNTASAN BELAJAR TUNTAS 75 55% 3 TAK TUNTAS 59 60% 2 TUNTAS 60 60% 1 KETUNTASAN NILAI PESERTA DIDIK KRITERIA KETUNTASAN I NDIKATOR KOMPETENSI DASA R
22. CONTOH PENGHITUNGAN NILAI KD TUNTAS 68 65% 2 TUNTAS 70 70% 1 2 TUNTAS 90 60% 3 TUNTAS 80 70% 2 NILAI KD 1: 61+80+90 3 =77 ATAU 7,7 NILAI KD 2: MODE: 70 NILAI KD:70 TUNTAS 73 60% 3 TUNTAS 61 60% 1 1 KETUNTASAN NILAI SISWA KRITERIA KETUNTASAN BELAJAR I NDIKATOR KOMPETENSI DASA R (KD)
23. DALAM 1 KD
* JML INDIKATOR YG TUNTAS > 50%:
* LANJUT KE KD BERIKUTNYA
* REMEDIAL: BAGI INDIKATOR BELUM TUNTAS
* JML INDIKATOR BELUM TUNTAS ≥ 50%:
* MENGULANG KD YANG SAMA
24. PROGRAM REMEDIAL
* TATAP MUKA DENGAN GURU
* BELAJAR SENDIRI -> dinilai :
* MENJAWAB PERTANYAAN, MEMBUAT RANGKUMAN, MENGERJAKAN TUGAS, MENGUMPULKAN DATA .
* PADA ATAU DI LUAR JAM EFEKTIF
* INDIKATOR BELUM TUNTAS
25. PROGRAM PENGAYAAN :
* SISWA BERPRESTASI BAIK
* MEMPERKAYA KOMPETENSI
* KEGIATAN : MEMBERI MATERI TAMBAHAN,
* LATIHAN TAMBAHAN
* TUGAS INDIVIDUAL
* HASIL PENILAIAN MENAMBAH NILAI MATPEL BERSANGKUTAN
* SETIAP SAAT, PADA ATAU DI LUAR JAM EFEKTIF .
26. PERBAIKAN PROGRAM & KEGIATAN Program Strategi Bahan Tidak efektif ? dievaluasi Direvisi Diganti
27. PELAPORAN
* RAPOR ADALAH LAPORAN KEMAJUAN BELAJAR
* BERISI INFORMASI TENTANG PENCAPAIAN KOMPETENSI
* SEKOLAH BOLEH MENETAPKAN SENDIRI MODEL RAPOR YANG DIKEHENDAKI, DENGAN SYARAT: KOMUNIKATIF DAN MENGGAMBARKAN PENCAPAIAN KOMPETENSI
* MODEL YANG ADA PADA ALTERNATIF MERUPAKAN CONTOH YANG DAPAT DIMODIFIKASI /DIADOPSI OLEH SEKOLAH

Standar Pengelolaan Pendidikan

Menyembuhkan Pengelolaan Pendidikan Kita

Ibarat penyakit kronis atau adanya kekuatan hilang dalam dunia pendidikan kita, maka penyembuhannya juga sangat berat dan perlu obat khusus. Tulisan ini pun tidak mengasumsikan kesembuhan, tetapi sebuah renungan untuk semua bagaimana pendidikan harus mendapat perhatian serius. Menghilangkan kepura-puraan, seperti ritual menyukseskan angka-angka palsu dalam setiap pembagian rapor Ujian Akhir Nasional atau lainnya.

Penulis merasakan ada hal yang hilang dalam sistem pendidikan, baik tingkat nasional maupun daerah. Tulisan singkat ini ingin mendeskripsikan secara ringkas beberapa masalah yang sedang berkelindan di lingkungan pendidikan dengan penekanan pada pengelolaannya, serta beberapa langkah yang mungkin ditempuh secara bertahap.
Pertama, sekolah kita hari ini telah kering dengan nilai-nilai teologi, nilai-nilai moralitas, dengan segala aspeknya. Baik dari segi jumlah jam untuk menyampaikan maupun materi yang berkaitan kedua hal tersebut. Begitu juga hilangnya suri teladan untuk ditiru dari sebagian orang-orang yang terlibat di dalamnya. Guru yang di masa lalu menjadi teladan bagi murid-muridnya sepertinya telah kehilangan ruhnya.

Mereka menjadi orang-orang yang lemah, mendapat perlakuan sangat diskriminatif dalam segala hal. Mulai dari kesejahteraan sampai tugas yang kurang jelas operasionalnya dan selalu berubah. Kesemua ini memberi pengaruh secara psikologis, menjadikan rasa rendah diri tertanam di alam bawah sadar. Pilihan jadi guru mungkin langkah terakhir di kampus-kampus, bek hana laen, lantaran tiada lain.

Kembali kepada persoalan nilai-nilai teologi dan moralitas baik dalam pengertian formal atau sekedar semangat kebajikan, ini dua hal yang sepertinya tidak mendapat perhatian khusus di lembaga yang “menerbitkan guru”. Padahal diakui atau tidak bangsa beradab itu di mulai dengan pengenalan yang baik akan Tuhannya yang menjadi sumber moralitas transendent. Sehingga terbangunnya fondasi nilai-nilai perennial yang berkembang di masyarakatnya secara turun temurun dan diwariskan melalui proses pendidikan yang benar.

Kenyataan ini tidak seluruhnya dapat disalahkan pada pundak guru, namun pola kurikulum di kampus tidak memberi perhatian yang besar buat masalah ini. Pendidikan semakin mengarah pada komersialisasi dan percepatan angka kerja, bukan pada perubahan bangsa. Menyangkut hal ini Syed Naquib Al-Attas, intelektual Malaysia menyatakan bahwa tujuan pendidikan semestinya bukan hanya untuk tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga untuk mencapai tujuan spiritual manusia.

Kedua, Orientasi kurikulum. Kita melihat bahwa dalam beberapa tahun ini di sekolah formal, para guru dan pihak sekolah dicekoki bermacam-macam istilah. Dan paling mutakhir kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang dalam pelaksanaannya guru “harus lari siang” untuk membuat kerja adinistratif, seperti Program Tahunan (Prota), Program Semester (Prosem), ditambah lagi harus mengisi rapor blok I dan II dan remedial.

Dan itupun belum selesai dipahami kini guru dikerjaian lagi dengan program baru dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP). Sebenarnya guru ok-ok saja menerima semua dan tidak melihat hal tersebut secara sinis. Tapi pertanyaannya apakah hal itu dapat memberi solusi dibandingkan dengan apa yang diterapkan selama ini, atau hanya untuk menambah kerja guru untuk mengisi sampai tiga kolom nilai untuk satu pelajaran dan 12 kotak penilaian rapor semester.

Orientasi kurikulum sepertinya terlalu dipaksakan, digenjot untuk bisa menyamai apa yang diterapkan di negara-negara maju. Padahal pra sarana pendukung dan komponen pendidikan yang ada belum memadai. Dan yang terjadi disekolah para guru harus memodifikasi tuntutan akan media seperti komputer yang tidak merata di setiap sekolah, mikroskop, laboratorium bahasa, ruang bimbingan siswa, dan musalla untuk bimbingan rohani.

Idealisme diusung memang sangat bagus untuk perbaikan pendidikan sebagai basis untuk kemajuan bangsa. Namun kalau yang digenjot cuma guru apakah itu adil? Sedangkan sisi lainnya yang mendukung kegiatan guru seperti dinas pendidikan atau lembaga lain yang punya kaitan dengan guru belum “bersahabat” membantu guru untuk dapat mengaktualisasi dirinya, hal ini akan menjadi pincang.

Ketiga, Lingkungan sekolah dan iklim belajar. Menciptakan lingkungan sekolah yang nyaman, teratur dan fasilitas pendukung pemberlajaran adalah suatu keharusan, untuk mendukung terciptanya iklim belajar yang kondusif. Di samping itu yang terpenting adalah adanya agen-agen hidup mulai dari kepala sekolah, guru senior, guru muda, staf perpustakaan, staf laboratorium yang menghidupkan sekolah benar-benar menjadi tempat dan sumber belajar. Artinya setiap orang yang berada dalam lingkungan sekolah benar-benar mempunyai sikap yang tegas bahwa lingkungan sekolah adalah lingkungan belajar. Bukan tempat sekadar mencari sumber penghidupan bagi para guru dan diatur benar –benar menjadi lingkungan belajar..

Setiap orang yang berada di sekolah benar-benar mempunyai sense of learning (jiwa belajar), ditandai dengan sikap terbuka terhadap perubahan, menerima kritikan, mau sama-sama belajar pada siapapun, toleran terhadap perbedaan.

Kondisi ini sepertinya perlu ditanamkan lebih mendalam di sekolah-sekolah kita. Semangat untuk menerima perubahan, perbedaan dan yang paling sering kritikan dari guru-guru kritis tidak menjadi bumerang bagi dirinya. Dan keringnya rasa ini sepertinya menjadi permasalahan tersendiri pada sisi pengelola sekolah. Para pengelola sekolah sepertinya lebih disibukkan dengan kegiatan sampingan yang bukan tugas utamanya.

Keempat, pebedaan status ilmu atau dikhotomi sosial dan eksakta. Dikhotomi antara ilmu sosial dan eksakta sebenarnya bukan sebuah masalah. Namun akan menjadi persolan manakala anak-anak yang masuk dalam jurusan ilmu sosial dilabelkan menjadi anak-anak yang kurang pintar, bandel dan sterio type negatif lainnya. Di samping muncul image se akan-akan anak yang kuliah di jurusan sosial akan menjadi anak-anak yang kurang bagus masa depannya.

Sterio type negatif ini secara psikologis akan membawa pada sikap untuk memberlakukan mereka secara kurang baik yang pada akhirnya akan membawa pengaruh buruk pada hasil belajar mereka. Padahal merujuk pada pembagian ilmu baik yang berkembang di Barat maupun dunia Islam, kedua ilmu ini mendapat kedudukan yang sama. Aristoteles misalnya membagi ilmu dalam dua bagian: Pertama, ilmu praktis, seperti politik, filsafat moral. Kedua,ilmu teoritis, seperti matetika, fisika dan metafisika. Sedangkan Ibnu Khaldun penggagas ilmu al-‘umran (sosiologi) membagi ilmu secara umum menjadi dua: ilmu yang bersumber dari wahyu dan ilmu yang bersumber dari pengamatan.

Jadi di sana tidak ada perbedaan antara tinggi atau rendah suatu ilmu, kemudian penting atau tidak suatu mata pelajaran di sekolah. Pembagian yang sehat bahwa anak yang duduk di dua jurusan dilayani secara sama. Mereka masuk ke jurusan tersebut betul-betul sesuai dengan bakat, minat, potensi dan tujuan hidup yang ingin dicapai di masa mendatang.

Kelima, transparansi dana keluar masuk. Uang merupakan energi yang menggerakkan dunia yang semakin konsumtif. Untuk menghilangkan kecurigaan dan timbulnya fitnah sesama guru dan stake holder di sekolah sudah saatnya membuat jurnal keluar masuk yang di tempel di tempat terbuka dan dapat diakses siapapun mulai guru, murid dan orang tua murid.

Langkah Penyembuhan

Banyak hal yang telah dilakukan untuk perbaikan pendidikan, tapi pertanyaan kenapa selalu penuh dengan kontroversi, penolakan massif atau paradoksi dalam pelaksanaan. Dan menurut saya hal yang pertama ditentukan kembali bahwa semangat teologi pendidikan kita yang kukuh. Inilah yang harus dikongkritkan lagi bagi semua komponen yang terlibat dalam proses pengelolaan pendidikan. Bagaimana sesungguhnya manusia seutuhnya yang menjadi tujuan pendidikan kita. Hal ini perlu dikongkritkan dengan melihat adanya paradok yang besar, misalnya dalam kasus UAN apa hubungan antara manusia yang seutuhnya dengan menguasai tiga mata pelajaran tersebut harus lulus dengan nilai tertentu.

Selanjutnya guru harus menjadi ujung tombak yang sangat serius dalam proses perekrutan mereka, proses pendidikan tenaga kependidikan sampai mereka menjadi guru. Biasanya kampus-kampus keguruan menjadi pilihan terakhir, karena menjadi guru, sama artinya menjadi orang-orang melarat dalam banyak hal, terutama “skak-skak” oleh birokrasi terhadap kesejahteraan mereka.

Begitu juga dengan penghargaan terhadap ilmu sendiri, peminggiran terhadap sejumlah mata pelajaran karena dianggap rendah atau suasana lingkungan belajar yang tidak kondusif harus mampu di atasi dengan sebaiknya di tingkat sekolah. Sedangkan kurikulum seharusnya diserahkan pada setiap daerah mengelolanya. Hanya satu atau dua mata pelajaran yang berlaku secara nasional, yang isinya terserah sama daerah yang mengelola sesuai dengan keinginan mereka.

Di samping itu trasparansi dalam keuangan adalah sebuah hal yang perlu diterapkan. Sehingga setiap orang merasa tahu bagaimana sudah perkembangan atau kemajuan sekolah atau hal yang masih diperlukan di masa mendatang. Sehingga pendidikan betul-betul mejadikan hal yang akan membebaskan manusia. Bukan malah menjadi buah sumber perkara di mana kita menjadi penghafal yang tidak mengerti manfaat buat apa itu semua?

Sumber : www.penulislepas.com

Standar Pembiayaan Pendidikan

Mencari Bentuk Pembiayaan Pendidikan

Pemerintah berencana menganggarkan sektor pendidikan sebesar 20 persen pada tahun 2009. Rencana kebijakan itu diapresiasi sebagai langkah mulia memajukan sektor pendidikan. Apakah persoalan pendidikan akan berhenti dengan kebijakan itu?

Harus diakui permasalahan pembiayaan pendidikan di negeri ini merupakan permasalahan klasik yang tak berujung. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) Rp 254.000 per siswa SD per tahun dan Rp 354.000 per siswa SMP per tahun yang diberikan ke sekolah sesuai jumlah siswa setiap 3 bulan sebenarnya belum mencukupi. Banyak sekolah yang hanya mengandalkan dana BOS sehingga sering kali memungut biaya dari orangtua siswa. Akibatnya, hampir setiap saat ditemui protes terkait urusan biaya sekolah. Anak putus sekolah meskipun berusaha diminimalisir, di berbagai daerah sebenarnya ada yang tidak terpantau. Khusus di dunia perguruan tinggi, banyak elemen kampus menentang kebijakan universitas menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat. Apalagi berubahnya perguruan tinggi menjadi badan hukum, aksi penolakan pun tak berhenti dikumandangkan.

Â

Jika ditinjau berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, pendidikan tinggi sah-sah saja menarik dana dari masyarakat dengan syarat mengedepankan pertanggungjawaban publik (Pasal 24 Ayat 3). Namun persoalannya, masyarakat ternyata tidak memiliki aset kekayaan memadai untuk ikut serta membiayai pendidikan. Hal ini salah satunya disebabkan faktor kemiskinan dan kesejahteraan hidup yang tetap saja menjadi persoalan pelik di negeri ini.

Mengacu pada Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945, beberapa pihak menganggap telah terjadi pelanggaran konstitusi. Pemerintah dinilai melanggar konstitusi jika berlepas tangan terhadap biaya pendidikan warga negaranya. Tampaknya diperlukan penjelasan terkait ketentuan-ketentuan dalam Pasal 31 UUD 1945. Kewajiban pemerintah membiayai pendidikan cenderung tidak sampai perguruan tinggi dan hanya membiayai pendidikan dasar warga negaranya (Pasal 31 Ayat 2). Malah anggaran pendidikan sebesar minimal 20 persen pun sebenarnya tak mungkin untuk mencukupi biaya pendidikan setiap warga negaranya hingga merampungkan jenjang pendidikan tinggi. Dalam hal ini, hak warga negara memperoleh pendidikan tidak selamanya menuntut kewajiban negara membiayai pendidikan pascapendidikan dasar (SD-SMP). Memang tidak akan mungkin biaya pendidikan dibebankan kepada pemerintah secara keseluruhan mengingat anggaran negara juga diperlukan untuk memasok kebutuhan-kebutuhan nonpendidikan.

Merujuk hasil sebuah pengamatan, terdapat empat model pembiayaan pendidikan di dunia selama ini: Pertama, subsidi penuh dari jenjang pendidikan rendah (SD) hingga pendidikan tinggi (S-3).Kedua, mirip model pertama, masa gratis untuk pendidikan tinggi diberikan sampai usia tertentu. Ketiga, masa gratis hanya sampai SMA dan di perguruan tinggi tetap membayar SPP walau masih disubsidi. Keempat, semua jenjang pendidikan membiayai dirinya sendiri. Dana diperoleh dari kerja sama dengan industri atau perbankan, membentuk komunitas alumni atau murni semua diperoleh dari mahasiswanya.

Keempat model yang diutarakan di atas bukanlah standar baku pembiayaan pendidikan. Lalu, bagaimana model pembiayaan pendidikan yang sekiranya tepat diterapkan di Indonesia?

Dalam konteks Indonesia, jenjang pendidikan dasar (SD-SMP) dibiayai penuh negara, namun untuk jenjang pendidikan tinggi diperlukan kreasi dan inovasi perguruan tinggi mencari sumber pendanaan pendidikan. Yang perlu diperhatikan, perguruan tinggi jangan seenaknya menarik biaya pendidikan atas nama otonomi perguruan tinggi. Model tersebut terasa tepat dengan mengacu konstitusi dan seperti dikemukakan di muka, anggaran negara relatif tidak mungkin membiayai pendidikan warga negara hingga merampungkan jenjang pendidikan tinggi. Selain itu, peran masyarakat untuk menyokong biaya pendidikan sangat penting.

Konsep tabungan pendidikan sekiranya layak disosialisasikan kepada masyarakat. Masyarakat, lebih khusus lagi pihak keluarga, setidaknya membiasakan menabung untuk pendidikan anak-anaknya. Tabungan pendidikan ini bisa dimulai semenjak anak masih berada dalam kandungan sebagai persiapan pendidikannya kelak ketika menginjak bangku pendidikan tinggi.

Dengan asumsi satu anggota keluarga dapat menabung seribu rupiah setiap harinya, maka dalam sebulan mencapai Rp 30.000,00. Jika dihitung setahun, jumlah nominal tabungan pendidikan tersebut akan berkisar Rp 360.000,00. Dengan disiplin menabung setiap hari, maka ketika anak lulus dari jenjang pendidikan menengah (SMA) telah terkumpul Rp 6.480.000,00. Jumlah akumulasi tabungan pendidikan tersebut paling tidak bisa bermanfaat untuk membiayai pendidikan seorang anak memasuki perguruan tinggi.

Besaran uang bisa bertambah lebih banyak lagi dengan jumlah anggota keluarga yang bersedia menabung--minimal ayah dan ibu--dan tabungan setiap hari lebih dari seribu rupiah. Hal penting lainnya, kesadaran rasional jumlah anak dalam keluarga harus dimiliki. Keluarga dituntut memahami kondisi objektif kemampuannya dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anaknya.

Apakah tabungan pendidikan akan berjalan efektif? Tabungan pendidikan hanya salah satu alternatif di antara banyak alternatif lainnya. Alternatif selain tabungan pendidikan justru diharapkan semakin meringankan pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi. Lebih dari itu, negara bukan berarti boleh berdiam diri dan berlepas tangan begitu saja. Negara mutlak bertanggung jawab menyejahterakan setiap penduduk di negeri berjajar pulau-pulau ini, sehingga setiap keluarga di tanah persada Indonesia dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Lagi-lagi, kesejahteraan merupakan hal utama agar masyarakat terentas dari jerat kemiskinan dan dapat memperoleh pendidikan secara layak.

Sumber: www.harian-global.com

Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan

Standar Pendidikan Mendesak Diwujudkan

Delapan standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan bersama harus menjadi prioritas untuk diwujudkan dalam kabinet mendatang. Hal itu dilakukan agar kualitas pendidikan secara nasional bisa meningkat dan merata di seluruh wilayah Tanah Air.

Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Djemari Mardapi di Jakarta, Selasa (20/10), mengatakan, pembuatan standar nasional pendidikan itu sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

Djemari mengatakan, hingga kini pemenuhan kedelapan standar nasional pendidikan itu masih belum memuaskan. ”Untuk mencapainya perlu proses dan waktu. Yang penting, ada komitmen pemerintah pusat dan daerah, sedangkan BSNP akan mengawasi,” katanya.

Pemenuhan standar sarana dan prasarana, misalnya, masih dihadapkan pada persoalan banyaknya bangunan sekolah yang belum sesuai aturan. Hingga kini masih banyak bangunan sekolah, terutama sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah, yang rusak parah.

Fasilitas perpustakaan, mulai dari jumlah koleksi buku, kondisi ruangan, hingga keragaman buku, masih jauh dari ideal. Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP baru 63,3 persen.

Kondisi pendidik juga masih belum mampu mempercepat peningkatan kualitas pendidikan nasional. Dari segi pembiayaan pendidikan, kucuran dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar baru mampu menutupi sekitar 50 persen anggaran sekolah. Akibatnya, mutu pendidikan dasar dikhawatirkan menurun.

Dachnel Kamars, guru besar manajemen pendidikan dari Universitas Negeri Padang, mengatakan, standar nasional pendidikan yang dibuat pemerintah mesti segera diwujudkan agar ketimpangan kualitas pendidikan di wilayah perkotaan dan pedesaan serta di luar Pulau Jawa tidak terjadi lagi.

Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, HAR Tilaar, berpandangan, jika kualitas pendidikan ditingkatkan, mutu bangsa secara keseluruhan akan meningkat.

Sumber : www.pendidikan-diy.go.id

Standar Proses Pendidikan

Standar Pendidikan Belum Menasional

Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pemerintah soal gugatan ujian nasional mencuat pada akhir tahun ini. Kembali, desakan untuk mengkaji ulang dan menghentikan penyelenggaraan ujian nasional menguat.

Persoalannya bukan sekadar tidak adil karena hasilnya menjadi penentu utama kelulusan siswa dari sekolah. Fokus permasalahan yang ingin ditekankan, seperti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang selanjutnya diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No 2596 K/PDT/2008, adalah kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut.

Negara ini sudah mereguk kemerdekaan selama 64 tahun. Namun, ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah negeri dan swasta, perkotaan dan pedesaan, Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, serta masyarakat kaya dan masyarakat miskin masih menganga lebar.

Kesenjangan kondisi dan kualitas pendidikan itu masih berkutat di persoalan mendasar. Tersedianya guru profesional yang inovatif dan kreatif untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan belum terpenuhi merata di setiap sekolah. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan mendasar, seperti ruangan kelas, perpustakaan, buku pelajaran, dan laboratorium, banyak sekolah yang belum menyediakan.

Bagi kalangan pengamat pendidikan dan masyarakat luas, kesenjangan pendidikan itu bukanlah dijawab dengan pelaksanaan ujian nasional yang menghabiskan dana ratusan miliar rupiah yang tidak jelas tindak lanjutnya bagi sekolah. Masyarakat mendambakan bisa menikmati layanan pendidikan yang tidak diskriminatif, tetapi yang memenuhi standar nasional.

Badan Standar Nasional Pendidikan bersama Departemen Pendidikan Nasional sudah selesai membuat delapan standar pendidikan nasional yang menjanjikan layanan pendidikan prima. Standar pendidikan di setiap sekolah haruslah memenuhi standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, serta standar isi, standar proses, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar penilaian pendidikan yang sudah ditentukan secara nasional.

Mutu pendidikan dasar

Namun, standar pendidikan belum juga menasional di semua sekolah, pemerintah sudah sibuk mengembangkan sekolah-sekolah bertaraf internasional yang juga tak jelas arahnya. Kebijakan yang dinilai hanya menimbulkan kasta-kasta sekolah di tengah belum terujinya hasil pendidikan nasional berkontribusi dalam kemajuan sumber daya manusia Indonesia yang mumpuni pada masa depan.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh boleh berkilah bahwa yang namanya peningkatan mutu guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi merupakan proses yang terus berlangsung. Pemerintah sedang dalam proses untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan anggaran minimal 20 persen dari APBN.

Namun, bagi masyarakat, proses peningkatan mutu pendidikan yang dikejar pemerintah tidak jelas arahnya, juga terlalu lama sehingga pemerataan pendidikan berkualitas tak kunjung terealisasi dari Sabang hingga Merauke.

Mutu secara sempit dikaitkan dengan pencapaian intelektualitas semata. Padahal, pendidikan juga merupakan proses pembudayaan sikap-sikap baik yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kehidupan.

Yang terjadi saat ini, sekolah-sekolah kendur dalam pembentukan karakter, menumbuhkan kreativitas dan inovasi. Masalah-masalah kebangsaan seperti nasionalisme dan kecintaan kepada seni budaya bangsa mulai ditinggalkan.

Yang lebih miris, pendidikan dasar bermutu, yang minimal harus dirasakan semua warga negara, belum juga mampu dipenuhi bangsa ini. Pendidikan dasar gratis, yang mestinya diwujudkan pemerintah, dijalankan setengah hati.

Padahal, sebanyak 52,65 persen dari pekerja di negara ini hanya berpendidikan level SD ke bawah. Tanpa pendidikan dasar yang mumpuni, mereka terus dibayangi hidup dalam lingkaran kemiskinan.

Pendidikan dasar kita masih tertatih-tatih mengejar kualitas. Akses pendidikan dasar saja masih bermasalah. Ada sekitar 2,2 juta anak usia wajib belajar yang tidak sekolah, umumnya karena faktor ekonomi.

Dana bantuan operasional sekolah di SD-SMP yang jauh dari ideal lebih terserap untuk gaji guru dan tenaga sekolah honorer. Anggaran untuk mendukung operasional sekolah yang bisa dirasakan siswa menjadi terpangkas.



Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Ruang kelas di SD hampir 50 persen dari 891.594 ruang kelas masuk kategori rusak ringan dan berat.



Guru yang dinilai tidak layak mengajar, baik dari segi kualifikasi pendidikan maupun profesionalisme, sebagian besar justru guru di tingkat TK-SD. Tahun lalu tercatat sekitar 88 persen guru TK tak layak dan di tingkat SD sekitar 77,85 persen.

Pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, arah kebijakan pendidikan Indonesia ini semakin tidak jelas. Proses belajar yang tercipta mulai tingkat SD mengandung nilai paksaan, menakut-nakuti, dan mengembangkan sikap terabas.

Hak anak untuk berkembang sesuai potensi dan kemampuannya lewat pendidikan sedini mungkin justru semakin terabaikan.

Menurut dia, jika di level SD saja pendidikan berkualitas tidak bisa dicapai, pasti akan berpengaruh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Lydia Freyani Hawadi, guru besar psikologi pendidikan Universitas Indonesia, berpendapat, pendidikan di Indonesia belum melihat siswa sebagai individu yang unik sehingga perlu pembelajaran yang tidak seragam. Kegagalan pendidikan untuk memahami kebutuhan dan potensi unik setiap siswa itu mengakibatkan kualitas pendidikan yang tidak sesuai harapan. Akibat lebih jauh, daya saing dan kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah di dunia internasional.



Oleh karena itu, reformasi pendidikan di Indonesia perlu juga meneropong hal-hal yang substansial, yakni peserta didik sebagai subyek. Karakteristik pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya belajar, budaya, dan ekonomi harus digali lebih mendalam.

Tidak cukup sertifikasi

Sementara itu, komitmen peningkatan kualitas dan profesionalisme guru yang dilaksanakan pemerintah bagi sekitar 2,8 juta guru yang mesti selesai pada tahun 2015 dianggap masih terjebak formalitas. Padahal, kebijakan yang dibutuhkan pendidik adalah adanya pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan.

Ketika Departemen Pendidikan Nasional menetapkan visi 2010-2014 sebagai terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional, tersedianya guru yang mumpuni tidak bisa ditawar.

Pendidikan nasional mesti bisa membangun manusia yang berjiwa kreatif, inovatif, sportif, dan wirausaha. Perlu penyelarasan pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.

Karena itu, tantangan yang mesti segera terjawab adalah menerapkan standar pendidikan nasional tanpa pilih-pilih. Semua anak bangsa mesti menikmati layanan pendidikan yang memenuhi standar nasional.

Sumber : www.prakarsa-rakyat.org

Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan

Kurikulum Harus Mampu Jawab Persoalan Bangsa

Kurikulum di tingkat satuan pendidikan harus mampu menjawab persoalan-persoalan bangsa dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. terlebih lagi, beragam masalah yang melilit masyarakat di sekitar lingkungan sekolah tersebut. Sebab, kurikulum bukan sekadar persoalan materi mata pelajaran.

Hal itu dikatakan oleh pakar kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Said Hasan Hamid dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Peduli Pendidikan (Fortadik) yang dipandu oleh Nasrullah Nara, di Jakarta, Rabu (26/7).

Ia mengatakan selama ini terjadi degradasi dalam berpikir tentang kurikulum. Karena menganggap kurikulum hanya sekadar mata pelajaran. "Jadi pengembangan kurikulum oleh sekolah nantinya jangan hanya terfokus kepada mata pelajaran," kata Said Hasan Hamid

Dalam diskusi itu Hamid yang juga pengajar mahasiswa S3 dalam perbandingan kurikulum ini menyontohkan mengapa Timtim lepas dari Indonesia. Sebab, 70% pemilih mudanya memilih kepas. Artinya, terjadi kegagalan dalam mengajarkan materi sejarah untuk menyelesaikan persoalan bangsa di generasi muda di sana. Padahal, kurikulum itu seharusnya sesuatu yang harus bisa diingat dan melekat dalam diri siswa.

"Misalnya, lagi bagaimana habit yang baik, semangat juang, dan prinsip hidup yang terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari merupakan kenyataan kurikulum belum menjawab tantangan-tantangan bangsa dan persoalan-persoalan hidup masyarakat," ujarnya seraya menambahkan kurikulum harus mampu mencerminkan dasar keahlian pada semua mata pelajaran yang menjadi dasar kompetensi.

Persoalan-persoalan yang akan dihadapi dalam menerapkan kurikulum tingkat satuan sekolah dan membutuhkan antisipasi, antara lain, keragaman dalam satuan pendidikan sendiri, geografis, dan keragamanan juga dalam aspirasi masyarakat. "Persoalan sosialisasi juga akan menjadi masalah. Sebab, tidak bisa menggunakan sampling, tapi harus seluruh guru yang berjumlah 2,7 juta itu benar-benar bisa memahami soal kurikulum tersebut," katanya.

Sedangkan, untuk pengembangan kurikulum membutuhkan ahli-ahli kurikulum dengan bantuan profesional sampai sekolah tersebut benar-benar mampu menerapkannya.

Jangan sampai berhenti di tengah jalan, karena bantuan profesional distop. Termasuk juga ada evaluasi terhadap penerapan kurikulum, sehingga sekolah mengetahui persis apa kekurangannya. Sekaligus, juga evaluasi hasil belajar siswa-siswanya.

Sementara itu, Sekretaris Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Djaali mengatakan kurikulum tingkat satuan pendidikan ini dibuat oleh guru dan sekolah yang bersangkutan, bukan kepala dinas. Pembuatan kurikulum kewenangan sekolah setelah rapat dengan Dewan Pendidikan dan memperoleh pertimbangan oleh Komite Sekolah, dan diketahui oleh Dinas Pendidikan setempat, tapi bukan disetujui.

Kurikulum yang dibuat oleh sekolah itu mengacu kepada standar kompetensi dasar yang mencerminkan kualitas kelulusan. Pemerintah hanya mengeluarkan standar isi dan standar kompetensi kelulusan. Kompetensi dasar ini mengandung kurikulum, buku teks pelajaran, dan soal-soal untuk ujian nasional (UN). "Jadi, meski kurikulum beragam, tetap relevan dengan UN," ujarnya.

Kurikulum yang dibuat oleh guru-guru ini berdasarkan filosofi mereka yang paling paham tentang kondisi sekolah dan karakteristik peserta didik, dan potensi daerahnya masing-masing.

Said Hamid Hasan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap model desentralisasi pendidikan. Pengalaman disejumlah negara, konsep desentralisasi pendidikan justeru akan membuat pendidikan mengalami degradasi.

Namun karena semuanya sudah terlanjur terjadi, Hamid menilai yang terpenting sekarang menyiapkan perangkat pelaksananya. Meliputi guru, sekolah dan fasilitas penunjang lainnya.

Belum Siap Terapkan Kurikulum 2006

Tahun ajaran 2006/2007 belum satu sekolahpun yang siap melaksanakan Kurikulum 2006. Banyak guru yang masih kebingungan bagaimana menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

"Akibatnya banyak kepala dinas dan kandep yang lantas bikinin kurikulum untuk sekolah-sekolah didaerahnya," ujar Prof Dr Jaali, Sekjen Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Langkah ini jelas menyalahi UU Sisdiknas 20/2003 dan aturan penyerta lainnya. Mestinya kurikulum KTSP disusun oleh guru dan komite sekolah. Alasannya guru yang tahu persis karakteristik siswa dan potensi suatu daerah.

Menurut Jaali, belum siapnya sekolah menyusun kurikulum sendiri akibat memang tidak pernah disiapkan sejak semula. Sekolah terbiasa terima jadi kurikulum pendidikan dari pemerintah pusat.

Dalam kaitan ini, Guru SMP Negeri I Cibatu, Garut, Jabar Deny Suwarja mengatakan pengembangan kurikulum oleh sekolah bagi dirinya pribadi merupakan sarana untuk mengaktualkan guru dalam mengembangkan dirinya dalam mengajar, termasuk ikut membuat kurikulum di sekolahnya.

Namun, harus diakuinya teman-teman yang disurverinya belum begitu memahami soal kurikulum terbaru ini. Jangankan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Sedangkan, kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004 saja belum begitu memahaminya.

Artinya, memang ditingkat guru masih membutuhkan sosialisasi. Termasuk, juga meningkatkan kualitas gurunya sendiri untuk membuat dan menerapkannya serta mengajarkan materi mata pelajarannya di sekolah dengan baik. Jumlah siswa di kelas juga tidak boleh terlalu banyak cukup maksimal 26 siswa per kelas, agar siswa benar-benar bisa menyerapkan materi pelajaran yang disampaikan dengan kurikulum satuan pendidikan ini.

Sosialisasi yang dilakukan pemerintah pusat dan BSNP pun nyatanya hanya membuat guru tambah bingung. Belum lagi masalah KBK (kurikulum berbasis kompetensi) atau kurikulum 2004 yang kurang dipahami betul oleh guru, tiba-tiba muncul kurikulum 2006 dengan konsep KTSP. "KTSP itu nama buku atau merek pupuk," ujar Deny.

Diakui banyak guru yang tidak paham tentang kurikulum 2006. Jangankan untuk menyusunnya, menguasai konsep dasar dari pengembangan kurikukulum itu sendiri belum dipahami.

Mestinya, lanjut Deny, pemerintah tidak perlu disibukkan dengan acara ganti-ganti kurikulum. Sebab apalah artinya kurikulum bagus jika gurunya tidak becus menerapkannya. Baginya, kurikulum 1975 saja sudah cukup bagus. Kuncinya implementasi dilapangan dan guru yang mengajarkan memahami betul isi kurikulum tersebut.

Sumber : www.jurnalnet.com

Supervisi Pendidikan

Menyimak Desain Supervisi Sekolah

Perkembangan kebutuhan akan pendidikan membutuhkan beberapa literature tertentu untuk meningkatkan kualitas pemberdayaan SDM dan sarana prasarana. Pendidikan pada era sekarang sudah mampu bergerak mendekati garis kebutuhan yang harus ditempuh, dibanding sebelumnya ketika kedudukan pendidikan hanya sebagai formalitas global.

Dalam rangkaian dunia pendidikan terdapat beberapa fungsional penting sebagai pendukung kualitas output yang dihasilkan. Rangkaian itu dapat dikatakan sebagai substansi manajemen pendidikan, diantaranya meliputi pendidik, peserta didik, sarana prasarana, humas, dan layanan khusus.

Beberapa kedudukan substansi tersebut harus dijalankan dengan maksimal dan terpenuhi, dalam kajian proporsinya diharuskan ada walaupun tingkatannya masih minimalis. Secara fungsional, dalam dunia pendidikan khususnya sekolah minimal harus memiliki komponen pelaksana sekolah seperti kepala sekolah, guru, dan siswa. Jabatan tersebut berfungsi untuk menjalankan prosesi pendidikan yang meliputi pengajaran dan pengembangan. Pengajaran secara manajerial dilakukan oleh para pendidik sedangkan untuk pengembangan dilakukan oleh kepala sekolah atau pihak yayasan beserta tim khusus.

Menindak semakin luasnya cakupan kebutuhan pendidikan, maka sekolah perlu memperhatikan beberapa aspek yang berhubungan dengan kualitas kinerja guru sebagai pencetak output sekolah yakni siswa. Guru perlu mendapatkan referensi tentang pengembangan pengajaran agar mencapai keberhasilan dalam melaksanakan kurikulum yang berlaku.

Supervisi perlu sekali dilakukan sebagai alat untuk mengetahui proporsi kualitas guru dalam menjalankan kegiatan belajar mengajar. Aspek yang diberikan dalam supervisi yang ada biasanya hanya bersifat umum, karena guru tidak dilibatkan dalam perencanaan pembuatan supervisi padahal nantinya guru mendapatkan follow up dari supervisi yang sudah dilakukan.

Kepala sekolah sebagai pemegang tampuk tertinggi di sekolah harus memahami keperluan pendidik terutama untuk pelaksanaan supervisi. Segala kebutuhan guru yang meliputi pengajaran dan kurikulum menjadi pusat perhatian kepala sekolah untuk mendapatkan hasil KBM yang maksimal, oleh karena itu kepala sekolah perlu memahami dasar supervisi baik itu supervisi klinis atau supervisi pendidikan.

Supervisi dalam dunia pendidikan ada dua yakni supervisi klinis dan supervisi pendidikan. Supervisi secara garis besar bertujuan untuk membantu guru meningkatkan kualitas pengajaran, hal ini biasanya masih kurang dipahami kepala sekolah dimana supervisi yang dilakukan malah sifatnya mencari kesalahan guru secara mendasar.

Oleh karenanya kepala sekolah perlu mecermati dasar atas supervisi yang sudah direncanakan, bukan hanya untuk formalitas kebutuhan substansi pendidikan tapi sebagai tujuan utama dalam pelaksanaan kualitas sekolah. Dalam jabatan sebagai kepala sekolah, perlu sekali memahami dengan benar dasar yang dibutuhkan guru untuk pelaksanaan supervisi.

Hal ini menyangkut metode supervisi yang digunakan yakni antara supervisi klinis dan supervisi pendidikan. Ada perbedaan yang diulas dari dua macam supervisi ini yaitu untuk supervisi pendidikan sifatnya lebih umum dan kompleks sehingga format supervisi yang ada lebih luas tidak hanya menyangkut pengajaran saja.

Sedangkan untuk supervisi klinis sifatnya lebih kearah yang khusus dan terbatas pada aspek tertentu yang dibutuhkan dalam pengajaran guru. Supervisi klinis adalah bentuk bantuan profesioanl yang diberikan pada guru berdasarkan kebutuhan dengan beberapa siklus tertentu.

Siklus yang ada pada desain supervisi ini melibatkan guru sebagai target utama, tetapi sesuai dengan kebutuhan yang guru rasakan masih sangat kurang. Ada tiga siklus dalam pelaksanaan supervisi klinis, meliputi pertemuan awal, observasi, dan pertemuan balikan. Aplikasi ini dilakukan dengan beberapa langkah pendekatan oleh guru untuk pelaksanaan supervisi dilapangan.

Seorang supervisor untuk hal ini perlu melakukan kajian ulang tentang segala hal yang dialami guru atau karakteristik guru itu sendiri. Dalam supervisi klinis ada tiga prinsip yang harus diketahui supervisor, yaitu interaktif, demokratif, dan terpusat pada guru (Acheson dan Gall, 1987). Prinsip ini berbeda dengan siklus, dimana prinsip ini menjadi dasar pengetahuan sebelum melakukan supervisi sedangkan siklus hanya dilakukan ketika pelaksanaan supervisi menyangkut format dll.

Selain prinsip itu, kepala sekolah perlu memperhatikan prisnsip tambahan seperti hubungan antara guru dan supervisor sifatnya interaktif daripada direktif, penentuan tindakan dilakukan secara demokratik, terpusat pada guru (pelaksanaa supervisi), pemberian balikan dengan rekaman yang cermat, supervisi bukan instruksi tapi bantuan, supervisi dilakukan sesuai kontrak. Dari perencanaan tersebut, maka supervisi yang akan dilaksanakan supervisor dapat dikatakan sesuai prosedur atau tingkat efektifitasnya tinggi.

Jika disimak dari beberapa fungsi serta tahapan tersebut, maka supervisi yang cocok untuk dilakukan pada guru adalah supervisi klinis bukan supervisi pendidikan, hal ini sesuai dengan kajian proporsi supervisi yang dibutuhkan. Seperti dikatakan Sergivanni dan Starrat dalam buku supervisi klinis Dra. Maisyaroh, M. Pd bahwa supervisi klinis memang berbeda dengan supervisi pendidikan (supervisi non klinis).

Terdapat beberapa perbedaan signifikan antara lain seperti tabel dibawah, No Aspek Supervisi Klinis Supervisi Non Klinis 1 Prakarsa dan tanggung jawab guru supervisor 2 Hubungan supervisor dengan guru Kolegial sederajat dan interaktif Hubungan atasan bawahan yang birokratis 3 Sifat Bantuan demokratis Otoriter 4 sasaran Diajukan guru dengan kajian dan kontrak bersama Sesuai keinginan supervisor 5 Ruang lingkup terbatas luas 6 Tujuan Bimbingan analitik dan deskriptif evaluatif 7 Peran supervisor Banyak bertanya pada guru Banyak memberi tahu dan mengarahkan Dari penjabaran tabel diatas akan memudahkan referensi kepala sekolah dalam menjalankan supervisi.

Kajian-kajian tersebut membuka pemikiran desain supervisi yang perlu dilakukan pada guru untuk keperluan sekolah. Dalam pelaksanaan di sekolah, kebanyakan supervisi yang dilakukan adalah supervisi klinis, ini dikarenakan fungsi utama supervisi klinis lebih mengarah pada kinerja pengajaran guru dibanding dengan konten supervisi pendidikan / non klinis yang cenderung meluas.

Kepala sekolah memang diharapkan dapat membantu kualitas pengajaran guru dengan baik, sehingga peranannya sangat penting sebagai seorang supervisor, terlebih lagi keharusan kepala sekolah untuk memahami konsep supervisi yang akan dijalankan. Secara garis besar, kepala sekolah harus bisa meletakkan bagian mana untuk supervsi klinis dan mana untuk non klinis, serta memahami pula supervisi mana yang akan dilakukan, supervisi klinis atau pendidikan.

Dari hal tersebut akan didapat hasil supervisi yang isinya lebih efektif untuk pengembangan sekolah atau peningkatan kualitas pendidik. Desain supervisi ini menjadi referensi kepala sekolah dalam menentukan kemajuan pendidikan, substansi pendidikan yang menjadi pengembangan metode pendidikan, dan nantinya lebih menuju ke arah hasil output yang berhasil.

www.kabarindonesia.com