Kurikulum Harus Mampu Jawab Persoalan Bangsa
Kurikulum di tingkat satuan pendidikan harus mampu menjawab persoalan-persoalan bangsa dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. terlebih lagi, beragam masalah yang melilit masyarakat di sekitar lingkungan sekolah tersebut. Sebab, kurikulum bukan sekadar persoalan materi mata pelajaran.
Hal itu dikatakan oleh pakar kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Said Hasan Hamid dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Peduli Pendidikan (Fortadik) yang dipandu oleh Nasrullah Nara, di Jakarta, Rabu (26/7).
Ia mengatakan selama ini terjadi degradasi dalam berpikir tentang kurikulum. Karena menganggap kurikulum hanya sekadar mata pelajaran. "Jadi pengembangan kurikulum oleh sekolah nantinya jangan hanya terfokus kepada mata pelajaran," kata Said Hasan Hamid
Dalam diskusi itu Hamid yang juga pengajar mahasiswa S3 dalam perbandingan kurikulum ini menyontohkan mengapa Timtim lepas dari Indonesia. Sebab, 70% pemilih mudanya memilih kepas. Artinya, terjadi kegagalan dalam mengajarkan materi sejarah untuk menyelesaikan persoalan bangsa di generasi muda di sana. Padahal, kurikulum itu seharusnya sesuatu yang harus bisa diingat dan melekat dalam diri siswa.
"Misalnya, lagi bagaimana habit yang baik, semangat juang, dan prinsip hidup yang terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari merupakan kenyataan kurikulum belum menjawab tantangan-tantangan bangsa dan persoalan-persoalan hidup masyarakat," ujarnya seraya menambahkan kurikulum harus mampu mencerminkan dasar keahlian pada semua mata pelajaran yang menjadi dasar kompetensi.
Persoalan-persoalan yang akan dihadapi dalam menerapkan kurikulum tingkat satuan sekolah dan membutuhkan antisipasi, antara lain, keragaman dalam satuan pendidikan sendiri, geografis, dan keragamanan juga dalam aspirasi masyarakat. "Persoalan sosialisasi juga akan menjadi masalah. Sebab, tidak bisa menggunakan sampling, tapi harus seluruh guru yang berjumlah 2,7 juta itu benar-benar bisa memahami soal kurikulum tersebut," katanya.
Sedangkan, untuk pengembangan kurikulum membutuhkan ahli-ahli kurikulum dengan bantuan profesional sampai sekolah tersebut benar-benar mampu menerapkannya.
Jangan sampai berhenti di tengah jalan, karena bantuan profesional distop. Termasuk juga ada evaluasi terhadap penerapan kurikulum, sehingga sekolah mengetahui persis apa kekurangannya. Sekaligus, juga evaluasi hasil belajar siswa-siswanya.
Sementara itu, Sekretaris Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Djaali mengatakan kurikulum tingkat satuan pendidikan ini dibuat oleh guru dan sekolah yang bersangkutan, bukan kepala dinas. Pembuatan kurikulum kewenangan sekolah setelah rapat dengan Dewan Pendidikan dan memperoleh pertimbangan oleh Komite Sekolah, dan diketahui oleh Dinas Pendidikan setempat, tapi bukan disetujui.
Kurikulum yang dibuat oleh sekolah itu mengacu kepada standar kompetensi dasar yang mencerminkan kualitas kelulusan. Pemerintah hanya mengeluarkan standar isi dan standar kompetensi kelulusan. Kompetensi dasar ini mengandung kurikulum, buku teks pelajaran, dan soal-soal untuk ujian nasional (UN). "Jadi, meski kurikulum beragam, tetap relevan dengan UN," ujarnya.
Kurikulum yang dibuat oleh guru-guru ini berdasarkan filosofi mereka yang paling paham tentang kondisi sekolah dan karakteristik peserta didik, dan potensi daerahnya masing-masing.
Said Hamid Hasan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap model desentralisasi pendidikan. Pengalaman disejumlah negara, konsep desentralisasi pendidikan justeru akan membuat pendidikan mengalami degradasi.
Namun karena semuanya sudah terlanjur terjadi, Hamid menilai yang terpenting sekarang menyiapkan perangkat pelaksananya. Meliputi guru, sekolah dan fasilitas penunjang lainnya.
Belum Siap Terapkan Kurikulum 2006
Tahun ajaran 2006/2007 belum satu sekolahpun yang siap melaksanakan Kurikulum 2006. Banyak guru yang masih kebingungan bagaimana menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
"Akibatnya banyak kepala dinas dan kandep yang lantas bikinin kurikulum untuk sekolah-sekolah didaerahnya," ujar Prof Dr Jaali, Sekjen Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Langkah ini jelas menyalahi UU Sisdiknas 20/2003 dan aturan penyerta lainnya. Mestinya kurikulum KTSP disusun oleh guru dan komite sekolah. Alasannya guru yang tahu persis karakteristik siswa dan potensi suatu daerah.
Menurut Jaali, belum siapnya sekolah menyusun kurikulum sendiri akibat memang tidak pernah disiapkan sejak semula. Sekolah terbiasa terima jadi kurikulum pendidikan dari pemerintah pusat.
Dalam kaitan ini, Guru SMP Negeri I Cibatu, Garut, Jabar Deny Suwarja mengatakan pengembangan kurikulum oleh sekolah bagi dirinya pribadi merupakan sarana untuk mengaktualkan guru dalam mengembangkan dirinya dalam mengajar, termasuk ikut membuat kurikulum di sekolahnya.
Namun, harus diakuinya teman-teman yang disurverinya belum begitu memahami soal kurikulum terbaru ini. Jangankan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Sedangkan, kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004 saja belum begitu memahaminya.
Artinya, memang ditingkat guru masih membutuhkan sosialisasi. Termasuk, juga meningkatkan kualitas gurunya sendiri untuk membuat dan menerapkannya serta mengajarkan materi mata pelajarannya di sekolah dengan baik. Jumlah siswa di kelas juga tidak boleh terlalu banyak cukup maksimal 26 siswa per kelas, agar siswa benar-benar bisa menyerapkan materi pelajaran yang disampaikan dengan kurikulum satuan pendidikan ini.
Sosialisasi yang dilakukan pemerintah pusat dan BSNP pun nyatanya hanya membuat guru tambah bingung. Belum lagi masalah KBK (kurikulum berbasis kompetensi) atau kurikulum 2004 yang kurang dipahami betul oleh guru, tiba-tiba muncul kurikulum 2006 dengan konsep KTSP. "KTSP itu nama buku atau merek pupuk," ujar Deny.
Diakui banyak guru yang tidak paham tentang kurikulum 2006. Jangankan untuk menyusunnya, menguasai konsep dasar dari pengembangan kurikukulum itu sendiri belum dipahami.
Mestinya, lanjut Deny, pemerintah tidak perlu disibukkan dengan acara ganti-ganti kurikulum. Sebab apalah artinya kurikulum bagus jika gurunya tidak becus menerapkannya. Baginya, kurikulum 1975 saja sudah cukup bagus. Kuncinya implementasi dilapangan dan guru yang mengajarkan memahami betul isi kurikulum tersebut.
Sumber : www.jurnalnet.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar